Langsung ke konten utama
POTRET KESALAHAN DALAM PRAKTIK BERBUNGKUS INSTITUSI AGAMAT PADA BUKU ORANG-ORANG OETIMU KARYA FELIX K NESI



Tahun lalu, saya membeli buku ini di salah satu event literasi yang berada di Taman Ismail Marzuki. Berbekal beberapa hari sebelumnya saya melihat sebuah acara bedah buku live di Instagram tentang buku ini, hal itu yang membuat saya tertarik untuk membelinya.

Saya cukup puas setelah membacanya, buku ini cukup renyah untuk dibaca, bahkan dikaji lebih jauh. Saya seperti menemukan sastra serampangan khas Eka Kurniawan dalam gaya kepenulisan dari penulis muda ini, dan tentunya dengan menawarkan sebuah potret baru yang berbeda, dengan latar dan tema berbeda juga. Sesuatu suguhan baru dari corak masyarakat Indonesia timur yang menyimpan banyak cerita.

Saya seperti diajak kembali pada acara piala dunia 1998 yang dimenangkan Perancis; kemudian saya mengingat bahwa tahun itu untuk pertama kalinya saya mulai tertarik kepada sepak bola; Sambil membaca novel itu, saya mengingat masa kecil saya.

Buku ini emang berlatar tahun 90n. Potret Indonesia bagian timur yang jarang terekspos pada saat itu. Kehidupan di Negeri memang kadang hanya menyoroti sisi terang saja, sampai melupakan sisi terjauh Negeri yang masih diselimuti gelap.

Penulis benar-benar seorang pencerita yang pandai. Saya dibuat terpikat dengan alur cerita yang disajikan. Saya masih ingat kata-kata dari Felix Nesi dalam sebuah beda buku, ia mengatakan bahwa setiap orang di desanya pandai bercerita. Ia hanya orang yang beruntung saja di antara pencerita itu. Menurut saya itu bentuk kerendahan hati seseorang yang cukup sederhana.
.
Novel ini bercerita tentang Sersan IP yang hidup di Oetimu dengan segala permasalahan yang ada di sana. Yang paling menyita perhatian saya, tentu saja permasalahan institusi keagamaan yang terjadi dalam buku ini. Sebuah gambaran yang selama ini tidak pernah dibukakan, karena tertutup tirai berbungkus kebenaran.
.
Karya sastra merupakan mimesis dari realitas; Bahwa karya sastra berupaya mengaitkan karya sastra itu sendiri dengan realitas atau kenyataan. Terutama fenomena belakangan ini yang menimpa Felix Nesi. Penulis yang menyampaikan keprihatinannya kepada Kepala Romo SMK terhadap pastor yang bermasalah yang dipindahtugaskan ke SMK yang berjarak dekat dengan rumah Felix. Sekolah yang memiliki lebih dari 100 siswi.
.
Jelas, kejadian seperti ini merupakan bagian dari alur cerita novel Orang-orang Oetimu, kini narasi itu menjelma realitas yang harus dihadapi. Sang Penulis bukanlah Sersan Ip seperti tokoh yang diciptakannya, dan sangat tidak mudah untuk mengubah alur cerita di dunia nyata layaknya cerita dalam novel buatannya, kenyataan itu kadang dengan seenaknya mempersulit alur sebenarnya. Sehingga substansi permasalahan yang utama tidak tersentuh, dan dialihkan dengan permasalahan lainnya dengan semaunya.
.
Kaca Jendela yang rusak sama sekali tidak sebanding dengan masa depan yang rusak akibat praktik pembiaran berbungkus nama baik institusi keagamaan.
Saya cukup menyukai pernyataan penerbit #Marjinkiri untuk mendukung Felix Nesi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CARA LAIN MENIKMATI LUKA DALAM NOVEL TUHAN, IZINKAN AKU MENJADI PELACUR KARYA MUHIDIN M DAHLAN Seseorang dapat berubah kapan pun, dan dia akan menyadari apa yang akan menjadi keputusannya menjelang kematiannya. Meskipun ada beberapa dari mereka yang meninggal sebelum merubahnya. Semalaman saya membaca buku ini. Buku berjudul "Tuhan, izinkan ku menjadi pelacur!" karya Muhidin M Dahlan atau akrab dipanggil Gusmuh. Buku ini merupakan fiksi yang bahan bakunya sepenuhnya diambil dari kisah nyat a dan wawancara mendalam beberapa pekan. Menurut saya novel ini bisa dikaji lebih dalam dengan menggunakan kajian feminisme, psikologi sastra, sosiologi satra, karena ini cukup menarik untuk dikaji lebih dalam. "Setiap pengarang adalah pembohong; Tapi kebohongan mereka adalah kebohongan yang kreatif, kebohongan yang dinikmati. Bukan kebohongan sebagaimana terdefinisi dalam Kredo teologi yang harus disundut dengan dosa dan ancaman neraka." - Muhidin M Dahlan kepada pembacanya. Di b
  APALAH ARTI SEBUAH NAMA , YANG TERPENTING BERAGAMA DENGAN JENAKA ALA PAMAN TAT Ilustrasi oleh @Hujandiberanda   Jauh sebelum maraknya drama korea yang tengah digemari oleh sebagian warga negara Indonesia belakangan ini. Di era 90-an sampai awal 2000-an, sejatinya bangsa Indonesia sudah sangat gemar menonton film-film dari asia; terutama Hong kong dan China. Untuk anak-anak yang terlahir di masa 90-an, hari libur mereka penuh dengan tontonan dari dunia perfilman hong kong—yang kebanyakan bertemakan kunfu atau shoalin. Film-film Asia timur ini melahirkan aktor-aktor yang melekat di benak warga Indonesia, di antaranya film-film yang terbaik sepanjang masa yang menemani waktu lliburan sekolah, seperti Shaolin Popeye (1994), Trouble Maker (1995), Ten Brother (1995) , hingga Shaolin Soccer (2001) yang memulai abad 21-an dan banyak film mandarin lai n nya. Selain film mandarin yang digemari, aktor-aktor pemeran pun taka kalah luput dari bomingnya film mandarin di Indonesia. Se
RINDU DI SELA JEDA Pagi ini aku merindukan sabtuku Kini aku telah sampai di setengah jalan Persimpangan antara impian dan kenyataaan Namun Jeda ini terlalu lama Aku takut jeda ini merubah tekad menjadi berkarat Aku takut jeda ini menambah sekat yang dekat Sore itu Senja menampakan pesonanya Aku melihat ada sesuatu yang berbeda Ada dua senja muncul pada semesta Senja yang diberikan Tuhan untuk menghangatkan raga Dan senja yang terpancar dari matanya yang memberikan kenyamanan pada jiwa Sabtu dan senja adalah alasan lain hidupku lebih berwarna Mereka tak perlu seirama Biarkan mereka berjalan dengan caranya menuju satu muara ( Pondok Pinang, 29 Juli 2018 )