Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2018
MAAFKAN  ANAKMU,IBU Sungguh besar jasamu ,tak kuasa ku membalasnya Beribu kata terima kasih pun tak cukup mewakilinya Engkaulah malaikat tak bersayapku Bahkan di usia senjamu kini , aku masih saja merepotkanmu Bahagiamu pun sangat sederhana Bukan saat eng kau bergelimang harta Melainkan  saat melihat  anakmu meraih mimpinya Meski mengorbankan semua yang kau punya Aku… ya ng sekarang mulai melupakanmu Entah karena sibuk mengejar mimpi  atau mungkin terlena dunianya Dahulu kau yang mengajarkan aku ber bicara tapi sekarang aku mulai lupa Mengajakmu bercengkrama walau sepatah kata Tanpa kusadari t ubuhmu sudah tak seperti dulu Tubuh itu sekarang mulai layu digerogoti sang waktu Namun tak ada y a ng berubah dari raut wajahmu Senyummu yang selalu melekat saat melihat anakmu   Penyesalan terbesarku pun terjadi Saat kepulanganku dari perantauan,semuanya sudah berbeda Sudah tak ada lagi yang menungguku di depan pintu dengan senyuman S
Cikeusal, Desa Sunda Kota Ngapak (Oleh Wisnu Adi Pratama) Di zaman Globalisasi ini atau yang sering kita dengar zaman now, ketika membicarakan tentang kebudayann terasa tabu di kalangan anak muda. Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi fenomena ini, Di samping kurangnya pengenalan budaya dari generasi sebelumnya terhadap generasi sekarang dan yang akan datang, faktor yang sangat mempengaruhi anak muda kini tidak terlalu mengenal kebudayaannya adalah pengaruh masuknya budaya asing. Bahkan ironis ketika anak muda kini bahkan tidak mengenal kebudayaannya sendiri dan lebih mengenal kebudayaan luar. Padahal Indonesia memiliki anugerah dengan keanekaragaman kebudayaan yang ada di dalamnya. Sunda, jawa hingga papua adalah beberapa kebudayann di antaranya. Jujur saja, saya juga termasuk anak muda yang kurang begitu mengenal kebudayaan asli daerah . Saya terlahir di sebuah desa kecil di kaki Gunung Kumbang, tepatnya desa Cikeusal kecamatan ketanggungan kabupaten Brebes. ‘’Ngapak’’
KERINDUAN AKAN  SOSOK BAPAK PLURALISME ( Oleh Pratamawisnuadi ) Gus, bolehkan aku berkeluh kesah akan negeri ini sepeninggalmu Andai kau dapat melihat Negeriku kini, pastinya kau akan sangat sedih Mengapa Negeriku kini semrawut adanya ? Mengapa semakin sedikit sosok yang sepertimu? Sosok yang mampu cinta akan ibu pertiwi dan juga penegak agama Ilahi Lihatlah...Sekarang Mereka mengatasnamakan agama sebagai alat untuk berkuasa Mereka mecaci dan menebar kebencian dengan mengatasnamakan Tuhan Hanya karena sedikit beda buat mereka buta Dengan mudahnya mereka mengKAFIRkan atau meLIBERALkan sesamanya Mungkin sebenarnya engkau sudah dapat membaca fenomena negeri ini Sehingga engkau tanamkan pada kami tentang plularisme sedari dini Gus, Sungguh kami rindu akan sosokmu yang menyejukkan Sosok yang terbuka bagi siapa saja yang merasa terluka tanpa harus mempertanyakan latar belakangnya Gus, bolehkan aku tuangkan kerinduanku dalam bait sederhana ini Ker
WAJAH IBU PERTIWI KINI (Oleh Wisnu Adi Pratama) Aku  mengira  ini  semua  hanya  karena  PILKADA Selepasnya  semua  akan  seperti  semua Dimana  orang-orang  dapat  berdampingan  tanpa  takut ditanya  tentang  suku  dan  agamanya Namun  ternyata  aku  salah Masing-masing  dari  mereka  telah  menjadi  orang  yang  berbeda Yang  tadinya berdekatan  jadi  berjauhan Yang tadinya  teman  sepermainan  kini  bermusuhan Pemikiran  mereka  sudah  terkontaminasi  politik  buta Mereka  yang  terlalu  pragmatik  mengatasnamakan agama, padahal apakah benar  ini  semua  demi  agama ? Mereka  yang  terus  berteriak  cinta  akan  NKRI  tetapi  apakah benar  ini  semua  demi  Ibu Pertiwi? Semenjak  keresahanku  melihat  sosial  media Ketika  penebar  kebencian ada  dimana-mana Fitnah dan Intoleransi  jadi  hal yang lumrah  adanya Inilah  potret  kejamnya  politik  yang  telah  merubah  jiwa-jiwa  yang  suci  menjadi  teracuni Inilah  wajah  Ibu Pertiwi