SURAT CINTA TERGESA-GESA
(Oleh Wisnu Adi Pratama)
Waktu menunjukan pukul satu pagi, pekerjaanku baru selesai. Ah..mau bagaimana lagi, aku hanya sebagian budak korporasi yang terbelenggu rutinitas setiap hari. Dengan mata cukup sayup, aku mengendarai kendaraanku dengan sepeda motorku. Pekerjaan hari ini cukup menguras tenaga, sehingga membuatku lembur sampai lupa waktu. Di tengah perjalanan tiba-tiba perutku memanggil diriku. Aku baru teringat ternyata waktu sibukku sampai melupakan perutku yang belum terisi. Dari kejauhan terlihat abang penjual nasi goreng di depan salah satu mall yang sudah seperti tidak berpenghuni karena sebagian lampu sudah dipadamkan.
Akhirnya aku mampir tuk membeli nasi goreng. Abang nasi goreng terlihat cukup tua untuk berjualan, tetapi dia bersemangat melayani beberapa pembeli yang sedang menunggunya. Ada sekitar tiga orang pembeli yang mengharuskanku menunggu lebih lama, tak apa menunggu tiga orang karena menunggu kadang hanyalah sebuah keharusan.
Dari kejauhan, terdengar suara sepeda motor berhenti dari belakang. Dua orang anak muda terlihat yang mengendarai, yang satu bertubuh cungkring dengan celana yang robek-robek dan menggunakan kaos berwarna. Terlihat mengenakan kalung di lehernya dan beberapa gelang. Pemuda satunya lagi bertubuh gempal, ia mengenakan celana pendek dan jaket jeans. Ia sedang menghisap sebatang rokok. Si pemuda cungkring turun dari motornya melintasi kami para pembeli yang sedang menunggu pesenannya tiba. Aku mengira dia juga orang yang kelaparan tengah malam tuk memesan nasi goreng, ternyata tidak.
Dia berjalan mendekati Bapak penjual nasi goreng, tanpa berkata; Ia hanya menyodorkan tangannya, kemudian dengan cepat si Bapak penjual nasi goreng mengeluarkan beberapa rupiah dari dompetnya. Lagi-lagi tanpa sebuah kata yang terucap dari kedua orang itu. Kejadian itu selesai dengan cepat. Hingga kedua anak muda itu pergi dengan sepeda motornya. Matalu terus saja menatap kedua orang itu, pikiranku mulai menerka-nerka tentang siapakah mereka.
Saat pesananku telah tiba, aku mencoba mencari tahu tentang apa yang berkecamuk dalam benakku tadi. aku bertanya kepada bapak penjual nasi goreng,
"Siapa itu tadi pak"?
"Ah, biasa ormas sini".
Jawaban yang singkat itu malah membuatku kembali berpikir lebih banyak. Dari sekian banyak pertanyaan; tentang sebuah kebiasaan aneh, tentang sebuah anak muda yang berlaku seenaknya, atau mungkin tentang premanisme yang berkedok ormas. Apakah itu salah atau itu hal yang lumrah? Tidak sadarkah mereka ada orang tua yang sedang mencari nafkah sampai pagi buta, kemudian mereka anak muda hanya menadahkan tangan untuk mendapatkan rupiahnya. Aku teringat memang di daerah sini ada banyak sekali Ormas, mulai dari yang mengatasnamakan AKAMSI(anak kampung sini), mengatasnamakan kampung asal yang lebih terlihat intelek, ada pula yang mengatasnamakan bunga hingga sampai mengatasnakama ideologi Negara.
Menjelang lebaran biasanya kantorku mendapat banyak sekali surat cinta dari beberapa ormas. Lebaran kemarin kalo tidak salah ada lima surat cinta dengan meminta balasan dari kami yang tidak dikenalnya. Surat cinta yang terlalu terburu-buru ini rasanya terlalu memaksakan untuk dibalas oleh yang tak dikenalnya. Setiap hari mereka meminta balasan atas surat cintanya. Aku rasa surat cinta para kekasih tidak segitu mesranya sehingga surat cinta ini menjadi sebuah pertanyaan setiap harinya tuk meminta balasan.
Enam hari menjelang lebaran, beberapa anak muda dengan tampang yang tidak biasa terus saja mondar-mandir ke kantorku dengan wajah penuh harap hingga terkadang agak meninggikan suara. Pagi, siang hinggga malam mereka meminta balasan atas surat cintanya. Namun beberapa orang tidak begitu menyukai surat, termasuk atasan saya. Setiap ada orang yang mengirimkan surat cinta, ia seolah lupa bagaimana caranya membaca. Dan kami sebagai bawahannya harus pintar-pintar mencari alasan saat beberapa orang terlalu tergesa-gesa untuk sebuah jawaban. Lama kelamaan beberapa orang itu ada yang bosan, sehingga digantikan temannya tetapi mengatasnakan organisasi yang sama.
Terkadang ada hal yang unik sebenarnya dari beberapa surat cinta itu, setiap orang yang memberikan surat cinta maka ia akan memberitahukan kepada si penerima surat cinta untuk tidak menerima surat cinta lainnya. Seolah ia tahu bahwa akan ada surat-surat cinta yang bertebaran lainnya. Tapi hal itu dilakukan oleh semua orang saat akan memberikan surat cintanya, sehingga itu seperti sebuah teks naskah yang benar-benar sudah dipersiapkan oleh sang sutradara.
"Kalo ada yang ngasih surat cinta seperti ini, bilang aja sudah dikasih Ormas ini". Teks yang hampir sama dibacakan setelah pengenalan akan organisasinya.
Lima surat cinta sudah berbaris rapih di meja kerja, dan akhirnya satu persatu harus meminta paksa kepada sang pembaca untuk membalasnya. Sepertinya alasan demi alasan sudah tidak mempan kepada mereka yang sudah kehilangan sabar. Bahkan salah satu Ormas datang dengan wajah merah melihat suratnya masih belum juga dibaca, dan kebetulan atasan saya juga baru datang. Akhirnya dalam sebuah berdebatan singakat, atasan saya membalas surat cinta itu.
"Cuma Segini". Ucap salah satu anak muda itu
Nampaknya beberapa orang berharap lebih dari sebuah surat cinta, tapi atasan saya mematahkan harapan mereka. Surat cinta yang selama ini ditunggu ternyata mendapat balasan tak sesuai harapan, terkadang manusia memang selalu mengharapkan lebih tanpa sadar ada hal yang seharusnya selalu disyukuri. Mereka tampak kesal dan langsung memalingkan badan sambil membawa surat cintanya. Mereka pergi tanpa basa basi, mungkin membawa sedikit rasa emosi dan juga kecewa yang tinggi.
Melihat mereka buat aku teringat semasa kecil tinggal di Desa. Di sana biasanya terdapat manusia-manusia yang hidup bebas tanpa sebuah pekerjaan dan juga tanpa sebuah kewajiban. Mereka tidak akan pernah takut untuk tidak bisa makan, bahkan hidupnya terlalu santai tanpa sebuah ikatan. Pekerjaannya hanya mondar-mandir, nongkrong sana nongkrong sini, mengabiskan kopi di pagi hari, menghabiskan rokok setiap hari. Namun anehnya banyak orang yang memandang mereka sebagai seorang tokoh Desa. Mereka adalah para preman kampung yang cukup ditakuti. Bahkan ada yang mengatakan bahwa mereka digaji oleh para Desa. Entahlah...
Di Desaku, preman seperti sebuah profesi yang cukup dimintai. Tidak heran, banyak anak muda yang malas bekerja, tidak mau melanjutkan pendidikannya, tidak pergi merantau untuk melihat luasnya Dunia hanya karena ingin menjadi preman di Desa. Hidupnya enak Cuma mondar-mandir, nyantai, tidak capek, kebanyakan cukup bermodal omongan biar bisa menakuti dan memandangnya punya tangan besi. Bahkan beredar kabar bahwa mereka mendapatkan uang bulanan dari aparatur Desa, seperti gaji rutin atau jatah setiap ada proyek.
Inilah potret nyata sebuah kejanggalan yang terus saja dipelihara. Di Negeri ini sejatinya premanisme itu adalah hal terus saja dipelihara. Bahkan terkadang premanisme bisa digunakan untuk alat kuasa. Kita terbiasa hidup sehari-hari dengan sebuah premanisme, dengan para preman pasar yang memalak dari para pedagang pasar, dengan para preman Desa yang memiliki kekuasaan melebihi para perangkat Desa, hingga para preman berdasi yang terus saja menggerogoti Negeri.
Ini seperti jamur di msim hujan, akan selalu tumbuh jamur baru setiap musimnya. Beberapa orang menjadi besar kepala dengan premanisme bertopengkan Ormas. Mereka seperti mendapatkan benteng yang kokoh untuk berbuat seenaknya, mereka seperti mendapatkan dukungan penuh dari para simbol Ormasnya. Apalagi kalo para petinggi Ormasnya bertengger menjadi orang-orang berpengaruh dalam Instansi.
....
Kamis, Mei 2019
Komentar
Posting Komentar