Langsung ke konten utama
Mengikisnya Keadaban di antara Masyarakat Millenial




"Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu".
Rasanya hal itu tidak begitu asing dalam ruang lingkup pesantren. Itu sudah berlangsung dari dahulu kala yang diaplikasikan oleh para santri ketika berhadapan dengan Kyainya. Tapi mengapa adab itu tingkatannya di depan keilmuan?
Karena orang beradab itu sudah pasti berilmu, tetapi orang berilmu belum tentu beradab. Betapa mirisnya melihat fenomena di masa sekarang, beberapa orang mempertaruhkan nilai kesopanan dan keadaban mereka sebagai manusia hanya demi sebuah eksistensi semata.
"Sejauh apapun ilmu pengetahuan, maka kau akan menemukan kebesaran Tuhan". Seorang dosen filsafat berkata seperti itu kepada para mahasiswanya, memang ilmu pengetahuan manusia hanyalah sebuah jalan menuju kebenaran-kebenaran yang selama ini tidak kita ketahui. Tapi bagaimana kau mendapatkan ilmu itu jika tidak dibarengi dengan keadaban? Bagaimana kau mengormati keilmuan yang kau dapatkan dari seorang guru yang mengajarkan itu ketika tidak dibarengi dengan adab, Maka akhirnya kau hanya akan mengagungkan keilmuanmu.
Saya selalu percaya, bahwa tidak ada yang benar-benar namanya kebetulan. Siang tadi, dalam acara PUNCAK (Paguyuban Urang Cikeusal) dihadiri tausiyah oleh Ust. Subhi Al Barbasy (Pengasuh Majelis Assifaurrahmah dan Majelis Terang Bulan). Meski Beliau mengatakan hanya obrolan-obrolan santai saja, tetapi beberapa pemaparan yang cukup menarik perhatian saya, poin yang sangat penting di antaranya tentang bagaimana mendidik anak untuk mengenal Allah dan Rasulullah. Melihat anak-anak zaman sekarang lebih mengenal Atta Gledek daripada keluarga Rasulullah, cukup miris memang melihat fenomena dampak dari kemajuan tekhnologi ini tanpa sebuah bimbingan peran kedua orang.
Bahkan Ust Subhi sempat menceritakan bahwa suatu ketika ada seorang anak yang sedang berziarah ke makam orang tuanya, kemudian terdengar lantunan surat yasin yang cukup merdu, hingga lama-kelamaan ia mencari dari mana asal suara itu? Betapa terkejutnya ketika yang ditemui bukanlah suara langsung seorang manusia di sebuah makam. Tetapi lantunan surat yasin itu bersumber dari sebuah handphone yang diletakan pemiliknya sementara di samping sebuah kuburan. Apakah anak sekarang tidak bisa melafazkan al quran? Atau jangan-jangan mereka malah tidak pernah diajarkan orang tuanya untuk belajar Al quran atau bahkan yang terburuk adalah orang tuanya tidak pernah mengenalkan mereka kepada al quran? Entah alasan sibuk atau apapun, membiarkan anak-anak dengan kesenangan duniawi, hingga lantas mereka memilih jalan instan dari sebuah tekhnologi hanya akan menjadi sebuah penyesalan di kemudian hari.
"Jangan-jangan yang nantinya yang masuk surga itu handphonenya dulu, baru kemudian pemiliknya". Ucapan dari Ust Subhi sambil bercanda. hehehe

Kini saya baru menyadari kenapa dahulu ketika di madrasah itu pelajaran pertama dari pelajaran agama itu akidah akhlak. Sebelum belajar al quran hadits, fiqih, sejarah kebudayan islam. Karena terdapat keadaban di sana, itu adalah pondasi awal saat kau akan belajar. Tanpa disadari, banyak dari kita membiarkan anak belajar tanpa dibarengi dengan adab. Akhirnya kita hanya akan melahirkan anak yang tumbuh hanya berpegangan pada ilmu pengetahuan.

Pondok Pinang, 15 September 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

  MELUMRAHKAN PERILAKU ABNORMAL EREN YEAGER DALAM AOT;   PELIK TAPI REALISTIS Jika ada yang mengikuti anime Attack on Titan sedari awal, dari dimulai pertama kali rilis pada 7 April 2013 nampaknya tahun 2022 ini babak akhir anime Attack on Titan semakin terasa dekat, dan sepertinya pertarungan puncak tinggal menunggu waktu untuk  beberapa episode saja. Semakin jelas arah ending dari anime ini dan klimaks perang besar yang akan menanti. Konflik berkepanjangan, rantai kebencian yang diwariskan, peperangan yang tanpa akhir serta peran penguasa yang mendoktrin anak-anak bahwa tidak akan ada fajar selepas pekat menyelimuti semesta seolah menjadikan anime ini begitu tabu untuk dibicarakan, atau sebenarnya menjadi menarik karena terasa begitu dekat dengan kehidupan manusia. Musuh sebenarnya bukanlah Titan yang selama ini memakan manusia, tetapi kebencian yang bersemayam di dalam diri manusia itu sendiri. Bukan hanya sebatas peperangan bangsa eldia melawan Marley, tetapi lebih ...
PERBINCANGAN SEMESTA DI PANTURA SAMPAI IBU KOTA (Oleh Wisnu Adi Pratama) Jarum jam terus berdetak, langkah manusia terus bergerak, setiap sudit Bumi mulai retak. Dunia memang terlalu cepat bergerak sementara kita yang begitu kecil ini terlalu sibuk sendiri untuk beranjak. Sibuk memenuhi ambisi, sibuk bermimpi, sibuk mengejar yang tak pasti, hingga sibuk untuk sekadar menyibukan diri. Bergerak dari satu sisi ke sisi lain untuk kesenangan diri atau mungkin untuk penghidupan diri. Hari itu, sabtu adalah akhir dari liburan lebaran di kampung halaman. Rasanya baru kemarin pulang, tapi keadaan harus membawa kembali beranjak meneruskan petualangan. Pagi itu, seperti biasa terbangun lebih awal dari biasanya, bahkan Ibuku sudah terbangun sebelum jam 03.00 untuk menyiapkan dagangannya. Desa ini memang tak pernah diam, bahkan para ayam pun malu tuk bernyanyi di pagi hari. Setelah shalat subuh, kaki mulai berjalan kepada sudut paling barat Desa yaaitu tempat tak ...
    Kemarin, Hari ini dan Esok Hari dalam Hidup yang Begitu Singkat. “Mimpi seorang anak manusia tidak ada akhirnya”. Itu adalah kalimat yang saya percayai sekarang. Berbicara tentang mimpi, tentu saja setiap anak memiliki mimpi yang berbeda,mimpi masa kecil adalah harta yang berharga dan begitu menyenangkan ketika diucapkan. Tidak heran jika mimpi-mimpi anak kecil begitu tinggi dan serasa seperti mudah sekali untuk didapati. Terlahir di sebuah desa kecil bernama Cikeusal yang terletak di kaki Gunung Kumbang, saya hidup seperti anak-anak pada umumnya. Suatu ketika saat berusia delapan tahun, di sebuah kelas seorang guru menanyakan mimpi dan cita-cita kami waktu itu. Di saat anak-anak lain menjawab ingin menjadi dokter, pilot atau bahkan Presiden, tapi saya menjawab ingin menjadi seorang penulis. Ada beberapa teman saya yang menertawakannya.  Entahlah pada waktu itu mungkin teman-teman saya berfikir bahwa seorang penulis itu hanya orang yang bisa menulis, seperti me...