Merasa Benar Sendiri Lebih Berbahaya daripada Salah Jalan
(Oleh Wisnu Adi Pratama)
Awan gelap sore itu, menutupi ronah merah yang tak bisa melambaikan senyuman kepada para penghuni rumah yang sedang gundah. Semesta seolah mengerti kapan harus berubah warna untuk para makhluk yang mulai mengabaikannya.
.
Dari kejauhan, terlihat berbondong-bondong orang berjalan sambil mengibarkan bendera kebesaran. Beberapa orang bahkan membawa senjata tanjam dan sebagian mengepalkan tangannya, mereka terus berjalan menuju sebuah rumah kecil di pinggiran desa
"Tangkaaap" !"Bakaaar"!
"Bantai si Kafir "!
.
Teriakan beberapa orang seperti harimau yang terus mengaung karena kelaparan, berharap bertemu mangsa yang sedang tertidur pulas tanpa harus susah payah memberikan perlawanan
.
Sementara seorang anak manusia yang sepertinya akan jadi mangsa sedang dipeluk erat dalam dekapan ibunya. Tangannya gemetaran, bibirnya membisu mendengar teriakan dari kejauhan. Ibunya tak henti-hentinya meneteskan air mata, melihat anaknya yang seperti sebuah hidangan bagi para tamu undangan
.
Namanya maman kriting, beberapa bulan terakhir ia aktif dalam sebuah organisasi. Di antara warga desa yang masih percaya akan warisan-warisan budaya leluhurnya, organisasi itu terlihat berbeda dengan menonjolkan hal yang tak biasa. Awalnya maman suka menggembar gemborkan niat baik organisasinya. Sang Ibu bukannya tidak tahu segala tingkah anaknya, hanya saja terkadang seorang ibuhanya melihatnya dari kejauhan sambil sesekali mempertanyakan
.
Hingga suatu hari, organisasi yang diisi maman dianggap menyimpang dan terlarang. Warga desa harus mengusir para anggotanya, bahkan yang lebih parah adalah beberapa darinya sampai diburu oleh warga, hingga bahkan beberapa ditemukan tak bernyawa. Entah siapa yang memulainya sehingga banyak warga mengatakan bahwa menghilangkan nyawa seorang anak manusia yang sudah ikut organisasi itu dibenarkan adanya
.
Seorang lelaki tiba-tiba datang, mengagetkan maman kriting dan ibunya. Pria tinggu besar berambut gondrong datang menghampiri keduanya. Dia dalah Joni gondrong, ia baru datang dari perantauannya setelah mendengar tentang kisruh di desanya, terlebih yang terjadi pada maman kriting
.Semua orang sudah berada di rumah maman kriting, salah seorang warga mendobrak pintunya sambil berteriak,
"Hajaar"!
Beberapa orang mendobrak pintu, satu persatu berhasil masuk meski sambil berdesakan. Betapa bahagianya mata mereka, melihat ada santapan yang dinantikan ada dihadapannya
.
Joni gondrong memegang adiknya, Ia mencoba menenangkan masa, tapi banyaknya masa tidak cukup mendengar kata yang terucap dari mulutnya. Dia tak bisa menenangkan masa yang ternyata sudah tak mempan dengan kata. Layaknya seekor kucing yang mencoba menghentikan gonggongan anjing yang yang jelas tidak akan menghiraukannya.
.
Satu tinju melayang tepat kepada muka Joni. Joni tidak mencoba membalas, meski kalau ia mau, satu pukulannya bisa merobohkan orang-orang yang ada dihadapannya. Ia hanya terus memeluk tubuh maman yang begitu kecil dihadapannya, beberapa tangan masa lainnya coba menarik maman. Badan joni yang kekar tidak goyah meski dengan silih berganti pukulan mendarat kepadanya. Bahkan ia sempat melepaskan beberapa tangan yang menarik maman.
.
Sementara sang Ibu yang melihat kedua anaknya sedang dihakimi masa, tak kuasa menahan tangisnya. Bagaimana bisa kedua anaknya seperti gula yang sedang dikerumuni semut yang datang tiba-tiba. Tak ada Ibu yang baik-baik saja ketika dalam posisi seperti itu. Kemudia ia berlari ke arah masa untuk menghentikannya, salah satu balok kayu tepat menghantamnya saat akan mengenai maman. Seketika hening, semua orang terdiam melihat seorang perempuan terkapar di depan kedua anaknya. Suara jeritan maman memecahkan keheningan, Ia memegang wajah ibunya yang sudah penuh warna merah yang bercucuran dari kepalanya.
(Cikeusal, 9 April 2019)
Komentar
Posting Komentar