Langsung ke konten utama
                               Sebelum Senja Tiba, Awan-awan Menari Riang Gembira




   Sore itu saya tiba di Taman Ismail Marzuki untuk menonton acara malam anugerah Hari Puisi Indonesia 2018 yang diselenggarakan  pukul 19.30 WIB. Bersama beberpa teman kampus, saya ingin menghadiri acar tersebut. Satu persatu teman-teman juga sudah mulai berdatangan ke Taman Ismail Marzuki. Waktu acara masih lama jadi kami meutuskan untuk duduk-duduk santai santi  berbincang-bincang. Obrolah yang dibahas tidak jauh seputar sastra dan perkuliahan hingga seputar pekerjaan  dan juga pengalaman. Di antara kami memang mayoritas sebagai karyawan swasta sambil kuliah di hari sabtunya. Salah satu teman saya, ada yang seorang wirausaha. Dia pun sempet menceritakan pengalamannya saat masih bekerja jadi karyawan, entah kenapa dia merasa tidak nyaman ketika bekerja sebagai karyawan swasta berapa pun penghasilannya. Sampai suatu hari ia memutuskan untuk membuka usaha sendiri. Saya sempat bertanya bagaimana awal mulanya ia yakin memutuskan usahanya dan meninggalkan pekerjaannya, apakah ada perasaan ragu akan niatan usahanya. Dia pun menjelaskan bahwa setiap memulai meninggalkan zona nyaman untuk memulai sesuatu yang baru pastinya  ada perasaan seperti itu tapi kita harus mengambil resiko dan harus siap dengan segala resikonya.
   Dari perbincangan singkat dengan teman-teman saya menjelang acara malam anugerah Hari Puisi ternyata saya medapatkan banyak hal baru. Selain tentnya melihat penyair-prnyair hebat membacakan puisinya, saya juga mendapatkan pelajaran yang berharga dari teman-teman saya. Perbincangan yang mengingatkan saya dahulu awal mulai saya merantau. Teman saya yang juga seorang perantau bercerita kalau dia merantau itu bukanlah untuk menabung uang tetapi untuk menabung ilmu. Ilmu yang akan sangat berharga untuk kau menjalani kehidupan, ilmu yang tidak ditemukan di bangku sekolah ataupun tidak diberikan oleh guru dan juga dosen. Ketika kau pulang dari perantauan, seberapa rupiah yang bisa dibawa pulang nantinya akan habis juga.Tetapi kalau kau menabung ilmu mau seberapa ilmu yang kau dapatkan maka bisa akan tetap berguna sampai kapan pun.
Berbicara tentang rantau, saya juga termasuk seorang anak rantau.Beberapa tahun lalu, saya memutuskan untuk merantau ke Ibu Kota. Apakah itu pilihan atau apakah itu sebuah tujuan dalam hidup saya, waktu itu saya belum memikirkan sampai ke sana. Di desa saya, saat seorang anak sudah mulai tumbuh dewasa, maka merantau merupakan suatu keharusan atau malah seperti tradisi. Entah kapan itu di mulainya, saya juga kurang tahu akan hal itu. Saya masih ingat dalam benak saya pertama kali saat akan merantau adalah bagaimana saya bisa menghasilkan uang sendiri dan tidak bergantung kepada orang tua atau mungkin ingin merubah nasib.Mungkin itu juga yang ada di benak para perantau lain saat pertama kali memutuskan merantau.
   Kehidupan di perantauan tidaklah mudah, tidak seperti yang saya bayangkan ketika masih sekolah dulu bahwa sepertinya yang pulang dari perantauan itu terlihat sangat enak. Ternyata setelah menjalani kehidupan di perantauan saya baru merasakan bagaimana bertahan hidup yang sesungguhnya. Bagaimana mencari teman dari beraneka ragam dan bahasa dan bagaimana tetap terlihat baik-baik saja saat yang jauh di sana bertanya perihal kehidupan di perantauan. Kehidupan di perantauan membuat saya terbawa dengan arus dunia kerja atau menjadi budak korporasi. Apakah itu ingin saya? apakah itu mau saya? apakah saya nyaman menjalaninya? Entahlah..pertanyaan-pertanyaan seperti itu dahulu tidak terlalu saya pedulikan karena saya hanya mengikuti arus situasi dan kondisi yang ada di depan mata.
   Juli 2016 adalah awal mulai saya mencoba melawan arus, ada sebuah kejadian yang membuat saya tersadar bahwa ada banyak yang sudah saya lewatkan ketika saya terus bergelut dengan rutinitas yang membosankan. Selain usia saya yang banyk berkurang tanpa terasa, ada hal yang jauh lebih penting yang saya lupakan, yaitu mimpi masa kecil saya yang semakin menjauh ketika saya terbawa arus. Mulai saat itu saya memutuskan untuk kembali mengejar mimpi masa kecil saya dengan berbagai pertimbangan. Saya tidak boleh lagi dipermainkan oleh waktu kerja sehingga saya menjauh dari mimpi dan cita-cita, hidup itu hanya sebentar di dunia secepat lembayung senja berganti gelap malam jadi terlalu cepat jika saya hanya begelut menjadi budak korporasi sampai menjauhkan dair mimpi-mimpi.

                                                                                 (Taman Ismail Marzuki,Sabtu 29 Desember 2018)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CARA LAIN MENIKMATI LUKA DALAM NOVEL TUHAN, IZINKAN AKU MENJADI PELACUR KARYA MUHIDIN M DAHLAN Seseorang dapat berubah kapan pun, dan dia akan menyadari apa yang akan menjadi keputusannya menjelang kematiannya. Meskipun ada beberapa dari mereka yang meninggal sebelum merubahnya. Semalaman saya membaca buku ini. Buku berjudul "Tuhan, izinkan ku menjadi pelacur!" karya Muhidin M Dahlan atau akrab dipanggil Gusmuh. Buku ini merupakan fiksi yang bahan bakunya sepenuhnya diambil dari kisah nyat a dan wawancara mendalam beberapa pekan. Menurut saya novel ini bisa dikaji lebih dalam dengan menggunakan kajian feminisme, psikologi sastra, sosiologi satra, karena ini cukup menarik untuk dikaji lebih dalam. "Setiap pengarang adalah pembohong; Tapi kebohongan mereka adalah kebohongan yang kreatif, kebohongan yang dinikmati. Bukan kebohongan sebagaimana terdefinisi dalam Kredo teologi yang harus disundut dengan dosa dan ancaman neraka." - Muhidin M Dahlan kepada pembacanya. Di b
  APALAH ARTI SEBUAH NAMA , YANG TERPENTING BERAGAMA DENGAN JENAKA ALA PAMAN TAT Ilustrasi oleh @Hujandiberanda   Jauh sebelum maraknya drama korea yang tengah digemari oleh sebagian warga negara Indonesia belakangan ini. Di era 90-an sampai awal 2000-an, sejatinya bangsa Indonesia sudah sangat gemar menonton film-film dari asia; terutama Hong kong dan China. Untuk anak-anak yang terlahir di masa 90-an, hari libur mereka penuh dengan tontonan dari dunia perfilman hong kong—yang kebanyakan bertemakan kunfu atau shoalin. Film-film Asia timur ini melahirkan aktor-aktor yang melekat di benak warga Indonesia, di antaranya film-film yang terbaik sepanjang masa yang menemani waktu lliburan sekolah, seperti Shaolin Popeye (1994), Trouble Maker (1995), Ten Brother (1995) , hingga Shaolin Soccer (2001) yang memulai abad 21-an dan banyak film mandarin lai n nya. Selain film mandarin yang digemari, aktor-aktor pemeran pun taka kalah luput dari bomingnya film mandarin di Indonesia. Se
RINDU DI SELA JEDA Pagi ini aku merindukan sabtuku Kini aku telah sampai di setengah jalan Persimpangan antara impian dan kenyataaan Namun Jeda ini terlalu lama Aku takut jeda ini merubah tekad menjadi berkarat Aku takut jeda ini menambah sekat yang dekat Sore itu Senja menampakan pesonanya Aku melihat ada sesuatu yang berbeda Ada dua senja muncul pada semesta Senja yang diberikan Tuhan untuk menghangatkan raga Dan senja yang terpancar dari matanya yang memberikan kenyamanan pada jiwa Sabtu dan senja adalah alasan lain hidupku lebih berwarna Mereka tak perlu seirama Biarkan mereka berjalan dengan caranya menuju satu muara ( Pondok Pinang, 29 Juli 2018 )